Larik/dengan tulus setia telah melahirkan/ bermakna sama dengan puisi Ibu karya D.Zawawi Imron dalam larik /ibulah yang meletakkanku di sini/ melambangkan begitu tulusnya seorang ibu dengan kelahiran anaknya. 3.Tata Bahasa Ibunda Tercinta merupakan puisi karya Umbu Landu Paranggi menggunakan bahasa sastra yang dapat dikatakan cukup indah. SesaatSebelum Berangkat. Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat. Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. puisicinta puisi ibu puisi pahlawan puisi guru puisi sahabat puisi pendek puisi chairil anwar puisi romantis puisi lama puisi rindu puisi anak puisi ayah puisi aku puisi adalah puisi alam puisi anekdot puisi ada apa dengan cinta puisi aadc puisi ayah dan ibu puisi aku karya chairil anwar puisi a mustofa bisri puisi a thousand years puisi a muttaqin puisi a never die hero puisi a aziz Selainpuisi karya K.H. A. Mustofa Bisri dan Abdul Wachid B.S, pendidik dapat menambah wawasan siswa terkait penyair-penyair Indonesia modern lain seperti D. Zawawi Imron, M. Aan Mansyur, Taufik Ismail, Abdul Hadi, Jamal D Rachman dan lain sebagainya karena melalui penggunaan beberapa penyair tersebut, peserta didik diharapkan dapat mengenali AnlisisStruktural Semiotik Puisi D.Zawawi Imron. Yogyakarta: Cinta Buku.., 2018. Kumpulan Sajak Nun. Yogyakarta. Cinta Buku.., 2019. Kemahiran Bahasa Indonesia. Yogyakarta. Cinta Buku . ANALISIS STUKTUR SEMIOTIK SAJAK “RINDU YANG MELUAPLUAP” KARYA ABDUL WACHID B.S. MAKALAH kumpulkansejak masih aktif sebagai peneliti. D. Zawawi. Imron, penyair dan kiai kenamaan dari Madura, memberikan ulasan yang luas dan bernas tentang manusiamanusia. gerobak yang menjadi penghuni mayoritas negeri. ini. Zawawi mengapreasi puisi esai Elza dengan cukup. mendalam. Bab lima saya namai “Puisi Esai dalam Polemik”. Untuk . ArticlePDF Available AbstractTujuan penelitian ini untuk menganalisis struktur fisik dan struktur batin serta menganalisis kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya berdasarkan teori Roland Barthes. Ancangan penelitian ini kualitatif dengan metode analisis semiotik berlandaskan pada teori Roland Barthes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puisi “Ibu” memiliki struktur fisik berupa diksi, imajinasi atau citraan, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Adapun struktur batinnya meliputi tema sense, perasaan, nada dan suasana, dan amanat. Mengenai semiotik Roland Barthes, puisi “Ibu” mengandung kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya. Hal ini membuktikan bahwa puisi “ibu” sebagai salah bentuk karya sastra yang mengutamakan kepadatan, fungsi estetik, dan ekspresi tidak langsung; mempunyai kekuatan dalam aspek semiotik sehingga sesuai dengan hakikat puisi sebagai sistem tanda. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 183SAWERIGADINGVolume 28 No. 2, Desember 2022 Halaman 183 — 200ANALISIS SEMIOTIK ROLAND BARTHES PADA PUISI IBU’ KARyA D. ZAWAWI IMRONSemiotic Analysis of Roland Barthes at “Ibu” Poetry by D. Zawawi ImronMohammad Kanzunnudinaa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muria KudusGondangmanis Bae, Kudus, IndonesiaPos-el Naskah Diterima Tanggal 26 Juli 2022; Direvisi Akhir Tanggal 25 November 2022; Disetujui Tanggal; 28 November 2022AbstractThis study aims to formulate physical and mental structures and reveal hermeneutic codes, semimic or connotative codes, symbolic codes, prophetic codes, and cultural or cultural codes based on Roland Barthes’ theory. This research is qualitative by using a semiotic analysis method based on the theory of Roland Barthes. The poem “Ibu” has a physical structure in the form of diction, imagination or imagery, concrete words, the gure of speech or gurative language, verication, and typography. The inner structure has a theme sense, feeling, tone, atmosphere, and message. It shows that the poem “Ibu” has strength in both physical and mental elements. Based on Roland Barthes’s semiotics, a hermeneutic code, a semimic or connotative code, a symbolic code, a prophetic code, a prophetic code, and a cultural or cultural code are discovered after analyzing the poem “Ibu.”Key words poetry of Ibu; surface structure; deep structure; semioticAbstrakPenelitian ini bertujuan merumuskan struktur fisik dan struktur batin serta mengungkap kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya berdasarkan teori Roland Barthes. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotik berlandaskan pada teori Roland Barthes. Puisi “Ibu” mempunyai struktur fisik berupa diksi, imajinasi atau citraan, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Struktur batin memiliki tema sense, perasaan, nada dan suasana, dan amanat. Hal ini menunjukkan bahwa puisi “Ibu” memiliki kekuatan dalam unsur fisik maupun batin. Puisi “Ibu”, setelah dianalisis berdasarkan semiotik Roland Barthes, ditemukan adanya kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya. Kata-kata kunci puisi Ibu; struktur fisik; struktur batin; semiotikPENDAHULUAN Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra selain prosa dan drama memiliki karakteristik yang unik. Dinyatakan unik karena ciri dalam puisi tidak terdapat pada bentuk atau jenis karya sastra yang lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Pradopo, 2000 bahwa puisi merupakan aktivitas pemadatan. Dalam puisi tidak semua kisah atau peristiwa diceritakan. Dalam puisi yang dikemukakaan hanya inti masalah, peristiwa atau inti cerita. Dalam puisi hanya mengungkapkan esensi sesuatu. Puisi sebagai ekspresi esensi. Puisi itu mampat dan padat. Oleh sebab itu, penyair memilih kata dengan akurat. Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 184Berkaitan dengan ciri puisi tersebut di atas, dipertegas oleh Riffaterre, 1978 bahwa karya sastra berbentuk puisi merupakan ekspresi tidak langsung. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yakni 1 penggantian arti displacing of meaning, 2 penyimpangan atau pemencongan arti distorsing of meaning, dan 3 penciptaan arti creating of meaning. Begitu juga Teeuw, 1983, yang menyatakan bahwa puisi memiliki karakteristik paradoksal. Puisi merupakan karya sastra yang bulat, berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus dipahami dan ditafsirkan pada sendirinya. Akan tetapi, pada pihak lain, hal itu merupakan aktualisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya sebagai pelaksanaan pola harapan pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi yang bersangkutan. Puisi merupakan ungkapan dan perasaan penyair melalui bahasa terikat oleh irama, matra, rima, penyusunan lirik bait, dan penuh makna. Sebagai bentuk karya sastra, puisi banyak menyimpan tanda-tanda. Adapun tanda-tanda dalam puisi menurut Culler, 1975 sebagai konvensi sastra yang harus dipahami dalam sebuah puisi. Konvensi tersebut sangat penting dalam puisi tersebut juga ditunjukkan oleh puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron. Oleh sebab itu, puisi berjudul “IBU” tersebut menarik untuk diteliti berdasarkan persepsi semiotik. Sebagaimana dinyatakan oleh Pashaki et al., 2016, semiotik sebagai studi yang mengeksplorasi tanda-tanda dan proses interpretasi, menemukan kesempatan antara penanda dan ditadai, dan fokus pada studi sistematis dari semua faktor yang terlibat dalam produksi dan interpretasi tanda-tanda dan seluruh proses. Oleh sebab itu, sebuah puisi dianalisis berdasarkan ilmu tanda sangat tepat. Sebagaimana nyatakan oleh Preminger, 2001 bahwa puisi merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Dalam konteks ini menunjukkan jika puisi merupakan sistem tanda sehingga selaras apabila dianalisis dengan pisau semiotik. Semiotik yang digunakan untuk menganalisis puisi “IBU”, yakni semiotik Roland Barthes. Hal ini didasari pertimbangan bahwa karya sastra berbentuk puisi sarat dengan tanda dan makna konotasi daripada makna denotasi. Rolland Barthes Taum, 2018 mengungkapkan ada dua tingkat tanda, yakni denotasi makna yang merujuk pada tanda sebagai makna tingkat pertama yang menjadi penanda pada tingkatan tanda kedua, yakni konotasi. Konotasi melibatkan pengetahuan dan perasaan penafsir untuk menghubungkan sesuatu yang konkret dengan yang abstrak. Pradopo, 2001, puisi sebagai salah satu genre karya sastra sarat dengan sistem tanda, yang memiliki satuan-satuan tanda, seperti kosa kata, dan bahasa kiasan. Pradopo, 2000, juga mengemukakan bahwa puisi secara semiotik sebagai struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi. Memahami sebuah puisi berarti memahami makna puisi. Makna puisi merupakan arti yang muncul karena bahasa yang disusun berdasarkan struktur menurut konvensinya. Oleh sebab itu, mengkaji puisi harus menganalisis struktural dan semiotik karena puisi merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna Nursalim, 2018. Penelitian puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron berdasarkan perspektif semiotik Roland Barthes dilakukan mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian yang dilakukan oleh Purwningsih, 2013 tentang analisis stilistika dan nilai-nilai pendidikan kumpulan puisi “Mata Badik Mata Puisi” karya D. Zawawi Imron. Hasil penelitian ini menghasilkan 1 diksi yang ditemukan dalam kumpulan puisi Mata Badik Mata Puisi, yakni efek sedih, senang dan menegangkan; 2 citraan dalam Mata Badik Mata Puisi, didominasi citraan gerak, penglihatan, peraba, pendengaran, pengececap, dan penciuman; 3 kata konkret yang digunakan pengarang, yakni menggunakan symbol Bahasa Bugis-Makasar; 4 rima yang ada terdiri atas asonansi /a/, /e/, /i/, /u/ dan aliterasi /b/, /d/, /g/, 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 185/k/, /m/, /n/, /r/, /s/, /t/; dan 5 bahasa figuratif didominasi personifikasi, hiperbola, simile, alegori, metafora. Adapun nilai pendidikan mencakupi nilai moral, agama, sosial, dan nilai budaya. Penelitian Ginanjar et al., 2018 tentang analisis struktur batin dan struktur fisik pada puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis struktur batin dan struktur fisik yang membangun struktur puisi “IBU”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur batin puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron terdiri atas tema, perasaan, nada, suasana, dan amanat. Adapun struktur fisik yang membangun puisi “IBU” meliputi diksi, kata konkret, imajinasi, majas, rima, dan tipografi. Penelitian Puspita, 2015, meneliti majas dalam kumpulan puisi “Bantalku Ombak Selimutku Angin” karya D. Zawawi Imron. Penelitian ini menghasilkan majas perbandingan, personifikasi, metafora, parabel, dan fabel. Adapun majas yang paling dominan, yakni majas personifikasi. Nurjanah, 2016 meneliti stilistika serta nilai-nilai religius 10 puisi dalam kumpulan puisi “Mata Badik Mata Puisi” karya D. Zawawi Imron. Dalam penelitian ini menghasilkan 1 penggambaran majas dilakukan dengan interaksi pengarang atau masyarakat Bugis budaya, lingkungan alam, dan spiritual masyarakat Bugis; 2 adanya majas-majas yang terkandung dalam teks puisi, yakni majas penegasan repetisi, aferesis, paralisme, retoris, arkhaisme, anaphora, klimaks, aforisme, tautologi, enumerasio, dan ekslamasio, majas perbandingan antonomosia, epitet, hiperbola, personifikasi, smile, simbolik, sinestesia, onomotope, metafora, dan alegori. KERANGKA TEORI PuisiReeves, 1978 mengemukakan puisi sebagai karya sastra bersifat imajinatif, bahasanya konotatif, banyak digunakan makna kias dan makna lambang. Bahasanya lebih banyak menyodorkan berbagai kemungkinan makna. Hal ini disebabkan adanya pengkonsentrasian atau pemadatan kekuatan bahasa dalam puisi. Begitu juga, struktur fisik dan struktur batin pada puisi serta menyatu padu. Pradopo, 2000 menyatakan bahwa hakikat puisi ditentukan oleh tiga aspek, yakni memiliki fungsi estetis, kepadatan, dan ekspresi tidak langsung. Fungsi estetis, ditunjukkan bahwa puisi sebagai karya sastra fungsi estetika keindahaan sangat dominan. Funsi estetis ini merupakan unsur kepuitisan persajakan, irama, diksi, gaya bahasa. Aspek kepadatan, bahwa menulis puisi sebagai aktivitas pemadatan tidak semua peristiwa diceritakan. Puisi mengemukakan esensi sesuatu. Oleh sebab itu, puisi itu padat maka penyair memilih kata dengan puisi yang diungkapkan Pradopo tersebut menjadi dasar analisis puisi “Ibu” karya D. Zawawi Imron. Struktur Puisi Puisi terdiri atas dua unsur pokok, yakni struktur fisik dan struktur batin. Keduanya terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut membentuk totalitas makna yang utuh. Struktur fisik terdiri atas diksi, imajinasi atau citraan, kata konkret, majas atau bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Adapun struktur batin terdiri atas tema sense, perasaan, nada dan suasana , dan amanat Waluyo, 2010.Struktur fisik Diksi merupakan pilihan kata Waluyo, 2010 menjelaskan bahwa penyair sangat cermat memilih kata dengan mempertimbangkan maknanya, rima dan irama, dan kedudukan kata dalam puisi. Oleh karena itu, penyair juga sangat memperhatikan urutan kata dan kekuatan Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 186kata hingga mempunyai daya magis. Kata-kata diberi makan baru, dan kata-kata yang tidak bermakna diberi makna sesuai dengan keinginan penyair. Imaji atau citraan merupakan kata atau susunan kata yang mampu atau dapat mengungkapkan sensoris, seperti pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Citraan yang berkaitan dengan pendengaran disebut citra auditif, dengan penglihatan dinamakan citra visual, yang berhubungan dengan sesuatu yang bergerak disebut citra kinestik, yang berkaitan dengan perabaan disebut citra rabaan atau citra termal, dengan penciuman dinamakan citra penciuman, dan yang berhubungan dengan indera pengecapan disebut citra pengecapan Sayuti, 2010.Kata konkret, merupakan kata yang mempunyai referensi objek yang dapat diamati Kanzunnudin, 2021b. Bahasa figuratif, mempunyai banyak makna atau taksa. Bahasa figuratif, menurut Hawkes, 1977, menyatakan suatu makna dengan cara yang tidak biasa atau tidak sesuai denga apa yang diucapkan. Verifikasi berkaitan dengan bunyi. Bunyi dalam puisi memegang fungsi sangat penting karena menghasilkan rima dan ritma. Kata rima dipergunakan untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan bahwa penempatan bunyi dan pengulangnya tidak hanya pada akhir setiap baris, tetapi juga keseluruhan baris dan bait. Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Adapun ritma berkaitan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Mengenai tata wajah atau tipografi, merupakan sarana penting karena sebagai pembeda antara bentuk puisi dengan bentuk prosa dan drama. Puisi dalam membangun bentuknya tidak dengan paragraf tetapi dengan bait-bait. Begitu juga dalam penulisan baris, puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu dipenuhi tulisan. Hal ini kebalikan dengan bentuk prosa Waluyo, 2010. Struktur Batin Sebagaimana telah dijelaskan bahwa struktur batin puisi terdiri atas perasaan, tema, nada, dan amanat Waluyo, 2010. Perasaan atau rasa feeling merupakan suasana hati yang diungkapkan penyair dalam puisinya. Sikap penyair terhadap inti permasalahan yang berada dalam puisi. Tema merupakan gagasan pokok yang disampaikan atau dikemukakan oleh penyair. Keeny, 1983 menyatakan tema merupakan makna cerita puisi. Tema sebagai ide utama atau tujuan utama. Tema sebagai gagasan pokok yang terdapat dalam cerita/puisi.Fananie, 2002; Wardani, 2009 Nada dalam puisi sangat penting. Waluyo, 2010 mengemukakan bahwa setiap penyair memiliki sikap terhadap pembaca. Bisa sikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau lugas dalam bertutur kepada pembaca. Sikap ini yang disebut nada. Adapun suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yang bersangkutan atau akibat kejiwaan atau psikologis yang ditimbulkan oleh puisi terhadap pembaca. Amanat merupakan pesan yang disampaikan penyair kepada pembaca. Pesan penyair dapat dipahami, setelah pembaca memahami tema, rasa, dan nada puisi. Amanat secara implisit tersirat di balik kata-kata yang disusun dan di balik tema yang diungkapkan oleh penyair. Amanat berbeda dengan tema. Tema berkaitan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berkaitan dengan makna karya sastra meaning dan sifniance. Arti karya sastra bersifat lugas, objektif, dan khusus. Adapun makna karya sastra bersifas kias, subjektif, dan umum. Makna berkaitan dengan personal pribadi. Oleh sebab itu, setiap pembaca mempunyai tafsiran atau 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 187interpretasi berbeda-beda terhadap isi puisi sehingga memperoleh amanat tergantung atau sesuai dengan interpretasi masing-masing. Semiotik Roland Barthes Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini mengganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda yang bersangkutan memiliki arti Preminger, 1974. Teori semiotik Roland Barthes, menandaskan bahwa untuk memahami teks narasi atau pusi dengan cara menganalisis atau membedah teks baris demi baris melalui lima 5 sistem kode. Kelima sistem kode yang dimaksud, yakni kode hermeneutik, kode semik atau konotatif, kode simbolik, kode proaeretik, dan kode kultural atau budaya Sunahrowi, 2019.Dengan makna yang hendak disampaikan oleh penyair dalam puisi pada umumnya tersembunyi sehingga menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Tanda tanya itu menimbulkan daya tarik bagi pembaca untuk menafsirkan jawaban. Tanda tanya yang muncul dalam puisi menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca untuk mencari jawabannya. Apabila jawaban atas pertanyaan itu ada dalam teks puisi, maka pembicaraan itu berada dalam dimensi kode hermeneutik. Kode konotatif, menunjukkan bahwa makna yang ditafsirkan dalam puisi, yakni makna konotatif. Dalam puisi makna yang sangat dominan, yakni makna konotatif. Bahasa kias sangat dominan dalam puisi. Pembaca dalam menafsirkan puisi sangat berbeda dengan mengintrepretasikan prosa. Oleh sebab itu, agar dapat memahami makna puisi, pembaca harus menafsirkan makna-makna konotatif dalam puisi. Kode simbolik berkaitan erat dengan kode konotatif. Kode simbolik lebih mengarah pada bahasa sastra yang mengungkapkan atau melambangkan suatu dengan hal lain. Peristiwa-peristiwa diungkapkan puisi belum tentu untuk cerita melainkan untuk lambang sesuatu. Bahkan mungkin melambangkan sesuatu yang akan terjadi. Begitu juga, makna sebuah puisi dimunculkan berdasarkan oposisi biner binary oposition atau pembedaan balik. Kode proaeretik atau perbuatan, dalam konteks karya sastra bahwa perbuatan atau gerak atau alur pikiran penyair merupakan rangkaian atau rentetan yang membentuk garis liner. Berdasarkan rangkaian alur pikiran penyair yang diaktualisasikan dalam baris demi baris membentuk baik, maka pembaca dapat memahami gerak batin dan pikiran penyairnya. Oleh karena itu, apabila dicermati secara saksama, alur batin dan pikir penyair sejalan atau linear dengan susunan baris yang membentuk bait-bait dalam puisi bait pertama, bait kedua, dan seterusnya. Gagasan penyair meruapakan gagasan yang runtut selaras dengan susunan baris-baris dan bait-bait dalam puisi. Hal ini sebagai gerak atau lakuan batin dan pikiran penyair. Kode kultural atau budaya, berkaitan dengan sistem pengetahuan dan sistem nilai yang tersirat dalam puisi. Kata, frasa atau klausa dalam puisi yang berkaitan dengan budaya secara umum maupun secara khusus. Misalnya sebuah puisi mengemukakan idiom-idiom budaya, menyebut nama benda yang berkaitan dengan budaya lokalitas. Hal ini menunjukkan bahwa kode-kode budaya yang harus diinterpretasikan oleh pembaca. Pemahaman terhadap kode budaya dalam membaca karya sastra, sesuai pendapat Teeuw, 1983 bahwa untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai sistem, yakni kode bahasa, kode sastra yang khas, dan kode budaya. Taum, 2018METODEAncangan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 188Sebagaimana dinyatakan Moleong, 2001, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. Oleh sebab itu, laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan. Ratna, 2012 menyatakan bahwa penelitian kualitatif memberikan perhatian data alamiah, yakni data yang berkaitan dengan konteks keberadaannya. Dalam konteks ini, data alamiah yang dimaksud, yakni teks sastra. Adapun sumber data penelitian ini puisi berjudul “IBU” karya D. Zawawi Imron yang dikutip dari buku “Segugus Percakapan Cinta Di Bawah Matahari Antologi Dua Penyair Malaysia-Indonesia” terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia tahun 2017 Shamsudin & D. Zawawi, 2017. Perihal data berupa penggalan-penggalan puisi yang berupa kata atau kelompok kata. Teknik pengumpulan data menggunakan model pembacaan semiotik, yakni pembacaan heruistik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif Riffaterre, 1978. Model pembacaan ini sesuai pernyataan Barthes, 2010 bahwa karya terutama karya sastra merupakan bagian dari hermenuetik atau menjadi objek interpretasi. Pembacaan heruistik merupakan pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama, yakni pembacaan menurut konvensi bahasa. Adapun pembacaan hermeneuitik atau retroaktif adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran. Pembacaan hermeneutik berdasarkan sistem tanda semiotik tingkat kedua, sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sastra Kusumawati, 2021. Data-data dianalisis menurut struktur fisik dan batin puisi. Setelah analisis struktur fisik dan batin selesai, kemudian dianalisis berdasarkan teori semiotik Roland barthes. PEMBAHASAN Struktur sikDiksi Pilihan kata dalam puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron, sangat lugas dan sederhana. Bahkan terkesan menggunakan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari yang sangat familiar dengan konteks tempat penyair dilahirkan sehingga diksinya sangat akrab dengan pembaca. Berikut ini contoh diksi dalam puisi “Ibu” pada bait kedua. bila aku merantausedap kopyor susumu dan ronta kenakalankudi hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduanlantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Bait kedua puisi “IBU” terdiri atas empat baris tersebut menggunakan diksi yang sederhana yang digunakan dalam momunikasi sehari-hari. Misalnya pada baris pertama yang terdiri atas tiga kata/bila aku merantau/, merupakan diksi dalam bahasa sehari-hari yang sangat femiliar dengan pemakai bahasa pada umumnya. Oleh karena itu, pembaca tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami makna bait tersebut. Akan tetapi, diksi-diksi yang sederhana tersebut memiliki kekuatan yang total untuk membangun lokasi tempat dan nuansa si aku lirik berada berasal setelah muncul diksi pada baris II /sedap kopyor Susumu …/ dan pada baris III/ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/.Pohon Siwalan banyak tumbuh di dataran kering dan terbuka, seperti di Lamongan, Gresik, Tuban Jawa Timur; Jawa Tengah, madura, Bali, dan maluku. Hal ini menunjukkan setting tempat si aku lirik berada atau berasal, yakni Madura. Di wilayah atau daerah yang kering karena pertanian tidak begitu subur, para anak muda pada umumnya merantau untuk mengadu nasib yang lebih menjanjikan baik. 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 189Diksi /sedap kopyor susumu/ mengacu pada sebuah kelapa, yakni kelapa kopyor. Buah kelapa kopyor sangat disukai karena rasanya sangat menyegarkan apabila dijadikan minuman. Pada sisi lain, memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi jika dibandingan dengan kelapa biasa. Diksi itu menunjukkan bahwa seorang anak sangat menghormati dan menghargai air susu ibu yang tiada bandingnya. Apalagi dikaitkan dengan baris keempat /lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Diksi yang menggunakan kata-kata sehari-hari itu mengantarkan pembaca pada penghayatan yang sangat dalam tentang “air susu ibu” sebagai sumber hidup seorang anak. Hal itu tidak bisa diganti atau dibayar dengan apapun juga. Diksi yang dipilih penyair tersebut berdimensi konotatif, yakni tidak bermakna lugas tetapi bermakna konotatif, seperti diksi /sedap kopyor susumu/. Diksi dengan menggunakan kata-kata lugas dalam puisi “Ibu” membuktikan bahwa penyair telah menghasilkan komunikasi yang efektif dengan pembaca. Sejalan dengan pendapat Kanzunnudin, 2021a, indikator ketepatan kata, yakni menghasilkan komunikasi puncak yang paling efektif tanpa salah penafsiran atau salah makna. Penegasan Aminuddin, 1995, bahwa diksi yang tepat dapat mengantarkan gagasan atau ide yang disampaikan oleh penyair dalam puisinya kepada pembaca, mudah dipahami atau diterima. Imaji atau CitraanBerkaitan dengan imaji atau citraan dalam puisi, menurut Sayuti, 2010, bahwa citraan yang berhubungan 1 indra penglihatan disebut citra visual, 2 indra pendengaran disebut citra auditif, 3 sesuatu yang ditampilkan tampak bergerak disebut citra kinestetik, 4 indra penciuman disebut citra penciuman, dan 5 indra pencecapan disebut citra pencecapan. Citra visual diungkapkan pada bait I baris kedua /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/. Citraan tersebut mengajak pembaca untuk menyaksikan atau melihat sumur-sumur mengalami kekeringan dan daun-daun berguguran. Bahkan ranting-ranting pohon pun berjatuhan. Hal itu disebabkan karena musim kemarau. Sebagaimana dinyatakan oleh baris I pada bait pertama / … lalu datang musim kemarau/. Pada bait III baris ketiga, juga terdapat citra visual, yakni /ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/. Juga pada bait VI sebagai bait terakhir dalam baris pertama /ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/. Puisi “IBU” menampilkan citra kinestetik pada bair IV baris keempat /tempat berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/. Penyair mengajak pembaca untuk membayangkan bagaimana si ”aku” lirik sedang asyik menebar pukat dan melempar sayuh di laut. Citra kinestetik juga ditunjukkan dalam bait I baris ketiga /hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/. Citra kinestetik tersebut mampu membawa pembaca dalam suasana haru. Hal ini membawa imajinasi pembaca pada suasan nyata bahwa pada musim kemarau bahwa semua sumber air atau mata air berhenti sehingga sumur-sumur tidak mengeluarkan air atau mengalami kekeringan. Akan tetapi, air mata ibu tidak pernah mengalami kekeringan. Air mata ibu terus mengalir mengiringi dan mendoakan anaknya yang sedang merantau. Suasana ini dipertegas keutuhan bait I yang terdiri atas tiga baris /kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/ sumur-sumur kering, daunan pun gugur Bersama reranting/hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/.Indra penciuman atau indra penciuman, terdapat dalam puisi “Ibu” pada bait III baris ketiga /saat bunga kembang menyemerbak bau sayang/. Kelompok kata “menyemerbak bau sayang” membangkitkan imaji indera penciuman pembaca untuk mencium bau wangi Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 190atau harumnya kembang suatu bunga. Sebuah analogi terhadap kasih sayang seorang ibu yang sangat harum bagai harumnya bunga-bunga yang baru bermekaran hingga dikerumuni oleh lebah. Citra pencecapan diungkapkan oleh bati II baris kedua /sedap kopyor susumu …/ Diksi itu mengantarkan imaji pembaca pada citra pencecapan. Pembaca diajak untuk merasakan “sedapnya kelapa kopyor”. Buah kelapa yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan rasanya sangat sedap dan gurih serta sangat berbeda dengan buah kelapa pada umumnya atau buah kelapa biasa. Berdasarkan analisis citraan, puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron memiliki 1 imaji visual, 2 imaji kinestetik, 3 imaji penciuman, dan 4 imaji pencecapan. Akan tetapi, tidak mempunyai imaji auditif. Dengan ditemukannya keempat imaji atau citraan tersebut menunjukkan bahwa penyair menyadari pentingnya imaji atau citraan dalam puisi. Sebagaimana diungkapkan oleh Sayuti, 2010 bahwa citraan dalam puisi dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, secara reseptif, dari sisi pembaca. Citraan merupakan pengalaman indra yang terbentuk dalam rongga imajinasi pembaca ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkain kata. Kedua, secara ekspresif, dari sisi penyair. Citraan sebagai bentuk kata atau rangkaian kata yang digunakan oleh penyair untuk membangun komunikasi estetik atau untuk menyampaikan pengalaman indranya. Lebih lanjut, Sayuti, 2010, menjelaskan bahwa dengan citraan maka pembaca dihadapkan dengan sesuatu yang tampak konkret sehingga dapat membantu proses penafsiran dan penghayatan puisi secara menyeluruh dan tuntas. Adapun kaitannya dengan proses kreatif, citraan berfungsi untuk membangun keutuhan puisi karena pengalaman keindraan penyair disampaikan kepada pembaca. Pada sisi aspek citraan bagi penyair Altenbernd & Lewis, 1970 merupakan alat kepuitisan yang mengantarkan kesusastraan dalam hal ini puisi mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan, dan juga dapat menggambarkan suasana khusus, kejelasan, dan memberi warna setempat local colour yang sangat kuat Pradopo, 2000. D. Zawawi Imron dalam puisinya berjudul “IBU” telah menggunakan citraan yang sarat dengan warna lokal dimana dirinya tinggal. Begitu juga, citraan juga berfungsi memudahkan pembaca menangkap makna yang terkandung dalam puisi “IBU”. Kata Konkret Kata konkret atau khusus dimanfaatkan atau digunakan oleh penyair agar pembaca dapat membayangkan secara nyata apa yang dimaksud dalam puisi. Dengan demikian, pembaca lebih mudah mengkonkretkan hal-hal yang bersifat imajinatif. Kanzunnudin, 2021a menyatakan bahwa kata konkret merupakan kata yang mempunyai referensi objek yang dapat diamati. Kata konkret tersebut ditunjukkan pada bait II baris ketiga, yakni /di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/. Kata konkret juga terdapat bait I pada baris kedua /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/. Rangkaian kata “mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan” mengkonkretkan rasa rindu yang begitu dalam atau raga rindu yang berbunga-bunga. Begitu juga rangkaian kata “sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting”, mengkonkretkan musim kemarau yang sangat kering sehingga tidak ada sumber mata air. Sesuai dengan pendapat Waluyo, 2010, untuk membangkitkan imaji atau daya bayang pembaca, maka kata-kata harus dikonkretkan. Kata-kata konkret dapat menyarankan pada arti yang menyeluruh. Apabila seorang penyair terampil mengkonkretkan kata-kata maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 191Hal ini menjadikan pembaca terlibat penuh secara batin pada puisi yang dibaca. Kata konkret tersebut memiliki fungsi untuk mencapai tingkat efektivitas dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, puisi berjudul “Ibu” mempunyai daya efektivitas dalam berkomunikasi dengan pembaca sehingga melahirkan interaksi yang intim antara pembaca dengan puisi yang dibacanya. Majas atau Bahasa Figuratif Majas gure of speech adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis penyair untuk mencapai aspek atau daya keindahan. Majas dibedakan menjadi 1 majas penegasan, 2 perbandingan, 3 pertentangan, dan 4 majas sindiran Ratna, 2013. Majas penegasan diperlihatkan pada bait I baris ketiga /hanya mata air air matamu ibu, …/. Rangkaian kata “mata air air matamu” merupakan majas penegasan berbentuk repetisi dengan aliterasi. Majas penegasan juga ditunjukkan pada bait IV baris ketiga /tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/ dan baris keempat /tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/. Kata “berlayar, menebar, melempar” sebagai majas penegasan berupa paralelisme, yakni kesejajaran kata-kata atau frasa dengan fungsi yang sama. Kanzunnudin 2021a mengemukakan penyejajaran bertujuan untuk menimbulkan kesan bahwa unsur yang disejajarkan sebagai hal atau bagian yang penting atau menonjol. Majas perbandingan ditunjukkan melalui bait I baris kedua /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/. Baris kedua ini untuk melebih-lebihkan ketika kemarau datang. Kedatangan musim kemarau diungkapkan pada baris pertama bait I /kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/. Baris kedua pada bait I puisi “IBU” merupakan majas perbandingan berupa hiperbola, yakni melebih-lebihkan keadaan atau melebihi sifat dan kenyataan yang sesungguhnya. Majas perbandingan juga ditunjukkan dalam bait IV baris pertama /bila kasihmu ibarat Samudra/. Kasih saya ibu dimetaforakan sebagai Samudra, yakni yang sangat luas dan tidak pernah habis airnya. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu tiada batas dan tidak pernah habis. Baris pertama bait IV tersebut merupakan bentuk majas perbandingan berupa metafora. Pada bait VI baris pertama, juga mengandung majas perbandingan / ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/. Keanggunan dan kecantikan ibunya si “aku” lirik dimetaforakan sebagai bidadari yang berlendang bianglala. Pelangi merupakan sebuah pemandangan di langit yang sangat anggun, indah, dan memesona. Warna Pelangi di langit munculnya pada waktu-waktu tertentu. Suatu ilustrasi seorang ibu yang sangat luar biasa. Mengenai majas pertentangan diungkapkan melalui bait I pada baris kedua dipertentangkan dengan baris ketiga, yakni /sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting/hanya mata air air matamu ibu, yang tetap lancar mengalir/. Berhubung musim kemarau tiba maka sumber mata air mengering, sumur-sumur juga mengering. Bahkan daunan dan ranting pohon berjatuhan. Akan tetapi, air mata seorang ibu tidak pernah mengering dan terus mengalir. Majas pertentangan juga diperlihatkan pada bait III baris kelima /aku mengangguk meskipun kurang mengerti/. Dalam berbagai budaya, apabila seseorang “mengangguk” maka mengisyaratkan bahwa orang yang bersangkutan menyatakan persetujuan, penerimaan, memahami atau rasa tahu. Akan tetapi, yang diungkapkan dalam bait III baris kelima bertentangan, yakni si “aku” lirik menggangguk tetapi tidak tahu. Dalam konteks ini berlaku kondisi IBU” menggunakan majas penegasan, perbandingan, dan majas pertentangan. Hal menunjukkan bahwa Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 192penyair menyadari kehadiran maja dalam puisi sangat penting. Sebagaimana ditandaskan oleh Waluyo, 2010, bahwa memiliki efektivitas dalam 1 menghasilkan kesenangan imajinatif, 2 hal-hal yang abstrak menjadi konkret sehingga puisi lebih nikmat dibaca, 3 menambah intensitas perasaan dan sikap penyair dalam puisi, dan 4 mengkonsentrasikan makna yang disampaikan penyair kepada pembaca. VerikasiMeskipun puisi “IBU” menggunakan diksi sederhana, yakni bahasa akrab atau bahasa sehari-hari tetapi tetap mempertimbangan bunyi. Hal ini disadari oleh penyair karena bunyi menghasilkan rima. Rima akhir dalam puisi “IBU” terdapat pada bait kedua baris pertama dan kedua /bila ku merantau/sedap kopyor Susumu dan ronta kenalanku/. Juga pada bait III baris ketiga dan keempat /ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/aku mengangguk meskipun kurang mengerti/.Bait IV baris ketujuh, kedelapan, dan kesembilan /namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/lantaran aku tahu/engkau ibu dan aku anakmu/. Bait V yang terdiri atas dua baris, sangat memperhatikan rima akhir /bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/. Begitu juga bait terkahir atau bait VI pada baris kedua, ketiga, dan keempat, juga mengutamakan rima akhir /sesekali datang padu/ menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku/. Dalam puisi “IBU” juga terdapat rima awal pada bait IV baris ketiga dan keempat /tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/. Pengunaan rima dalam puisi “IBU”, menunjukkan bahwa penyair yang bersangkutan menyadari bahwa rima dalam puisi sangat penting fungsinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Waluyo, 2010, bahwa rima menjadikan puisi itu merdu jika dibaca dan mendukung perasaan dalam suasana puisi. Rima dalam puisi juga untuk menimbulkan daya estetika atau keindahan. Diungkapkan oleh Sayuti, 2010 bahwa yang menjadi pertimbangan utama ada rima, yakni untuk memunculkan efek keindahaan dalam puisi. Hal ini dengan pernyataan Siswantoro, 2010, rima bertujuan untuk menimbulkan aspek artsistik dalam puisi. TipograTipografi sebagai susunan baris-baris atau bait-bait dalam puisi, terutama sebagai pembeda dengan bentuk karya sastra yang lain, yakni drama dan prosa. Berkaitan dengan tata wajah atau tipografi, puisi “IBU” memiliki tipografi yang sederhana atau biasa. Puisi “IBU” disusun berdasarkan bait-bait, yakni terdiri atas enam bait. Tiap baitnya terdiri atas 2 baris sampai 9 baris. Bait yang hanya terdiri atas 2 baris, yakni bait V, sedangkan bait yang paling banyak barisnya, yakni bait IV, terdiri atas 9 baris. Susunan antara bait yang satu dengan bait yang lain berpola biasa. Begitu pula susunan baris dalam tiap bait juga berpola biasa. Tipografi dengan pola sederhana dalam puisi “IBU” memiliki kesesuaian dengan diksi yang sederhana. Kesederhanaan atau kelugasan tipografi sangat mendukung makna dan suasana puisi. Bagaimana eksistensi dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang begitu utama dan mulia. Hal sesuai dengan pendapat Sayuti, 2010, bahwa penyusunan tipografi dalam pusi mempunyai tujuan 1 sekadar untuk keindahan indrawi, agar susunan puisi tampak indah dipandang; dan 2 untuk mendukung pengedepanan makna, rasa, dan suasana puisi “IBU” ternyata memanfaatkan tipografi sebagai pendukung makna, rasa, dan suasana puisi. 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 193Struktur Batin Perasaan Perasaan sebagai suasana hati yang diungkapkan dan sikap penyair dalam menghadapi permasalahan yang dituangkan dalam puisi. Perasaan seorang anak terhadap Ibu yang begitu dalam. Perasaan seorang anak yang sangat menghormati ibunya. Perasaan seorang anak yang memiliki prinsip bahwa eksistensi seorang ibu tidak bisa digantikan oleh siapa dan apa saja. Perasaan itu ditunjukkan oleh salah satu bait, yakni bait III pada baris 1 sampai 4 /bila aku merantau/sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan/lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Baris-basis puisi tersebut mengungkapkan rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Meskipun anaknya nakal tetapi sang ibu tetap menyayangi. Adapun seorang anak semakin merasakan begitu kautnya kasih sayang ibunya, ketika ia berada di tempat rantauan. Oleh sebab itu, keberadaan seorang ibu tidak dapat digantikan oleh siapa dan apa saja. Begitu juga, jasa-jasa seorang itu tidak bisa ditukar dengan apa saja dan sampai kapan saja / lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Dalam puisi “IBU”, sikap seorang anak terhadap ibunya sangat tegas, yakni seorang ibu sebagai pahlawan. Sikap ini diungkapkan dalam bait IV baris keenam sampai sembilan /kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/lantaran aku tahu/engkau ibu dan aku anakmu/. Bait IV tersebut mengungkap sikap penyair yang sangat tegas dan jelas bahwa seorang ibu ibunya merupakan seorang pahlawan yang utama. Ungkapan dalam bait IV tersebut sejalan dengan keyakinan yang dianut oleh penyair, yakni Islam. Dalam Islam kedudukan seorang ibu sangat penting dan mulia bagi seorang anak. TemaTema sebagai gagasan utama atau pokok yang diungkapkan penyair, melandasi lahirnya sebuah puisi. Tema dalam puisi “IBU”, yakni tentang “ibu”. Keberadaan seorang ibu dengan berbagai kedudukannya, kasih sayangnya, dan perannya; yang tidak bisa tergantikan oleh apa pun dan siapa pun. Semua bait dalam puisi menyebutkan kata ibu. Sejak bait I hingga bait VI bait terakhir, kata “Ibu” selalu muncul. Bait I baris ketiga menyebut kata ibu /hanya mata air air mata ibu, yang tetap lancar mengalir/. Baris menandaskan betapa air ibu yang bisa berwujud kesedihan, kegembiraan, kasih sayang, dan doa, tidak pernah berhenti mengalir untuk kebahagiaan anaknya. Pada bait V terdiri atas dua baris, mengungkapkan peran seorang ibu dalam menunjukkan arah hidup anaknya /bila aku berlayar lalu datiang angin sakal/Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/. Begitu juga pada bait terakhir, yakni bait VI yang terdiri atas empat baris, mengungkapkan kemuliaan seorang ibu yang mengajari anaknya untuk melakukan sesuatu yang baik /ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/sesekali datang padaku/menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku/. Nada atau SuasanaNada sebagai sikap seorang penyair terhadap pembaca, dalam puisi “IBU” sangat lugas. Penyair tidak menggurui, tidak menasihati, tidak mengejek, dan tidak menyindir. Penyair secara lugas mengungkapkan sikapnya terhadap eksistensi seorang ibu terhadap seorang anak. Eksistensi seorang ibu diungkapkan oleh penyair melalui tokoh anak dalam puisi sehingga pemahaman terhadap keududukan seorang ibu mengalir secara alamiah. Penyair tidak mengungkapkan kedudukan seorang ibu dengan pola definisi atau pengertian yang melahirkan nada menasihati. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam beberapa bait Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 194dan baris. Misalnya dalam bait I yang terdiri atas 3 baris /kalua aku merantau lalu datang musim kemarau/sumur-sumur kering, daunan pun gugurbersama reranting/hanya mata air air mata ibu, yang tetap mengalir/. Juga dalam bait V yang terdiri atas dua baris /bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal/. Mengenai suasana yang diciptakan penyair mengantarkan pembaca berkontem-plasi atau termenung menghayati eksistensi dan kedudukan seorang ibu. Betapa sangat pentingnya kedudukan seorang ibu bagi seorang anak. Kedudukan seorang ibu tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Seorang anak tidak dapat membalas jasa seorang ibu. Sebagaimana ditandaskan dalam bait II baris ke-4 /lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar/. Setelah melakukan “permenungan” melahirkan suasana “menyayati hati”. Suasana ini diperlihatkan pada bait IV /bila kasihmu ibarat samodra/sempit lautan teduh/ tempatku mandi, mencuci lumut pada diri/tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/lakon-lakon, mutiara dan kembang laut semua bagiku/ kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/ namamu ibu, yang kan ku sebut paling dahulu/lantaran aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu/. Keterkaitan antara nada dan suasana ditunjukkan oleh puisi “IBU”. Dengan nada lugas melalui diksi sederhana melahirkan suasana kontemplasi yang menyayati hati bagi pembaca. Hal sesuai dengan pendapat Waluyo, 2010, nada dan suasana saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana iba hati pembaca. AmanatSetelah memahami tentang tema, rasa, nada dan suasana, pembaca dapat mengetahui amanat yang disampaikan oleh penyair dalam puisinya. Amanat dalam puisi “IBU”, yakni eksistensi dan kedudukan seorang sangat utama dan sangat penting dalam hidup seorang anak. Oleh sebab itu, seorang anak tidak boleh berlaku atau bertindak sewenag-wenang terhadap ibu. Apalagi melupakan jasa seorang ibu. Seorang anak harus dapat dan selalu mejaga keutamaan dan kemuliaan seorang ibu. Analisis Semiotik Roland BarthesKode HermeneutikKode hermeneutik ditandai dengan dengan pertanyaan-pertanyaan atau tanda tanya sehingga menimbulkan penasaran bagi pembaca untuk menafsirkan jawabannya, ditunjukkan pada bait IV baris ke-6 /kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/. Baris itu menyarankan sebuah pertanyaan tentang “siapa yang dimaksudkan dengan pahlawan?” Oleh karena itu, baris keenam bait IV tersebut merupakan kode hermeneutik karena menunjukkan sebuah pertanyaan yang perlu memperoleh jawaban. Pertanyaan tersebut dikemudian dijawab oleh baris ketujuh /namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/. Dalam konteks ini membuktikan bahwa jawaban atas pertanyaan itu ada dalam teks puisi. Oleh sebab itu, pembicaraan itu berada dalam dimensi kode hermeneutik. Sebagaimana dinyatakan Waluyo, 2010, dalam puisi maknanya tersembunyi sehingga menimbulkan tanda tanya pembaca. Hal itu dimunculkan dalam bentuk pertanyaan dalam teks dan jawabannya berada rangkaian baris berikutnya atau dalam teks selanjutnya. Kode Semik atau Konotatif Kode semik disebut juga sebagai petanda dari konotasi. Hal ini menunjukkan bahwa makna yang ditafsirkan dalam puisi berupa makna konotatif. Oleh karena itu, pembaca dalam menghadapi atau membaca puisi harus bersiap-siap dengan bahasa yang khas. Kode semik ini menawarkan banyak sisi dan memberikan pertanyaan kepada pembaca untuk memaknai atau menami atau 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 195menangkap konotasi dimunculkan oleh kode yang bersangkutan. Contoh kode semik dalam puisi “IBU” terdapat dalam bait II yang terdiri atas empat baris berikut ini.1 bila aku merantau2 sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku3 di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan4 lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar Pada baris kedua terdapat kode konotasi “sedap kopyor susumu”. Kode konotasi yang berdimensi imaji pencecapan, tersebut mengantarkan makna bahwa rasa air susu ibu sangat enak. Diibaratkan seperti rasa kelapa kopyor, yakni jenis buah kelapa yang langka, rasanya sangat enak, nilai ekonominya tinggi karena harganya mahal dan banyak dicari orang. Kode konotasi yang mengantarkan kepada pemahaman bahwa “air susu ibu” tidak ada paralelismenya. Dalam baris ketiga ada kode konotasi “mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan”. Kode konotasi itu mengantarkan makna kias berkaitan rasa kangen atau rindu atau kerinduan seorang anak yang berada di tanah rantau atau perantaun kepada ibunya. Rasa rindu seorang anak yang berada jauh di rantauan kepada sang ibu yang sangat dalam, berunga-bunga atau mengebu-gebu. Rasa rindu itu dikonotasi dengan “mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan”. Rasa rindu seorang anak kepada ibunya tidak bisa dihalangi atau dipisahkan oleh siapa dan apa pun. Sebagaimana “putik dan sari”. Kode semik dalam puisi “Ibu’’ sangat kuat. Konteks ini sesuai yang dinyatakan Sunahrowi, 2019, bahwa dalam teori semiotik Roland Barthes, kode semik atau konotasi memiliki peran yang sangat kuat dalam teks. Kode SimbolikSebagaimana telah dijelaskan pada bagian kerangka teori, bahwa kode simbolik sangat erat kaitannya dengan kode konotatif. Oleh karena itu, kode simbolik berdimensi bahasa sastra yang mengungkapkan atau melambangkan suatu dengan hal lain. Pada sisi lain, kode simbolik muncul dengan ditandai oleh oposisi biner atau pembedaan balik. Bait VI yang terdiri atas empat baris, contoh kode simbolik berkaitan dengan dimensi konotasi dengan cara pengungkapkan yang bermakna lain. 1 ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala2 sesekali datang padaku 3 meneyuruhku menulis langit biru4 dengan sajakku Pada baris pertama ibu’ dikonotasikan sebagai bidadari yang berlendang bianglala. Konotasi itu berdimenasi makna bahwa seorang ibu seperti seorang dewi yang selalu ikhlas menolong siapa saja yang berbuat baik, terutama kepada anaknya. Dalam budaya Jawa ada cerita rakyat “Dewi Nawang Wulan dan Jaka Tarub”. Dewi Nawang Wulan merupakan seorang bidadari yang turun ke bumi kemudian menikah dengan Jaka Tarub karena sesuatu hal dan mempunyai anak bernama Nawangsih. Meskipun akhirnya Dewi Nawang Wulan kembali ke Khayangan karena Jaka Tarub mengingkari janji, tetapi Dewi Nawang Wulan tetap setia dan selalu mengawasi dan menolong Nawangsih, terutama jika Nawangsih sedang dirundung masalah. Kata bianglala padanan kata pelangi. Ketika ada Pelangi di langit melahirkan pemandangan yang sangat indah karena penuh warna-warni. Sebuah pemandangan yang menyejukan hati dan melahirkan kegembiraan serta ketenangan atau kedamaian. Oleh karena itu, baris pertama /ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala/ sesekali datang Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 196padaku/ mengantarkan pemahaman bahwa kehadiran seorang ibu tidak harus diminta oleh anaknya. Begitu juga, kehadiran seorang dapat menentramkan, menenangkan, dan mengembirakan hati anaknya. Bahkan kehadiran seorang ibu dapat membangkitkan semangat hidup bagi anaknya. Pada baris ketiga dan keempat /menyuruhku menulis langit biru/dengan sajakku/ menunjukkan keterkaitan makna. Klausa menulis langit biru berdimensi makna masa depan yang cerah, optimis, penuh harapan. Adapun kata sajakku memberikan dimensi pengertian hidup atau kehidupan. Bagi penyair, sajak merupakan sebuah kehidupan dirinya. Bagi penyair, sajak merupakan nafas kehidupannya. Penyair dan sajak tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, baris ketiga dan keempat tersebut mengantarkan pemahaman bahwa seorang ibu sedang menasihati anaknya agar dapat menjalani hidup dan kehidupan yang penuh optimis dan penuh harapan. Mengenai kode simbolik yang diungkapkan melalui oposisi biner atau pembedaan balik dalam bait II yang terdiri atas empat baris berikut ini.1 bila aku merantau2 sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku3 di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan4 lataran hutangku padamu tak kuasa kubayar Pada baris kedua menunjukkan adanya oposisi biner sebagai wujud kode simbolik, yakni /sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku/. Sekuen kedua mengungkapkan aspek pembedaan balik antara /sedap kopyor susumu/ dengan /ronta kenakalanku/. Frasa “sedap kopyor susumu” mengungkapkan makna bahwa susu seorang ibu rasanya sangat enak sekali dan tidak ada yang menyamainya. Adapun frasa “ronta kenakalanku” menunjukkan makna tentang kenalan seorang ada. Dalam konteks frasa tersebut menunjukkan adanya oposisi biner berupa sesuatu yang baik berbanding terbalik dengan sesuatu yang jelek, yakni perilaku nakal. Oleh sebab itu, keberadaan oposisi biner diperlihatkan oleh frasa “sedap kopyor susumu” yang menunjukkan pembedaan balik dengan frasa “ronta kenakalanku“. Kode Proaeretik Kode proaeretik merupakan kode lakuan atau tidakan dalam puisi “Ibu” ditunjukkan pada bait III yang terdiri atas lima baris.1 ibu adalah gua pertapaanku2 dan ibulah yang meletakkan aku di sini3 saat bunga kembang menyemerbak bau sayang4 ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi5 aku mengangguk meskipun kurang mengerti Dalam baris keempat /ibu menunjuk langit, kemudian ke bumi/aku mengangguk meskipun kurang mengerti/ dan baris kelima /aku mengangguk meskipun kurang mengerti/. Kedua baris tersebut menunjukkan adanya kode aksian, yakni pada baris keempat tokoh ibu melakukan tindakan atau perbuatan berupa menunjuk ke langit dan ke bumi. Kode perbuatan atau kode aksian juga diperlihatkan pada baris kelima, yakni si “ibu” melakukan perbuatan atau tindakan berupa “mengangguk”. Kode proaeretik dalam baris keempat dan kelima bait III merupakan kode aksian yang saling berkaitan antara “ibu” dengan si “aku”. Si “ibu” melakukan perbuatan menunjuk ke langit dan ke bumi, kemudian si “aku” lirik langsung menanggapi dengan mengangguk. Dalam konteks jenis bahasa, menurut Kanzunnudin 2021a, bahwa bahasa kode, yakni cara berkomunikasi dengan menggunakan isyarat. Adapun mengangguk dalam bahasa kode atau bahasa isyarat berarti menyetujui. 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 197Kode aksian pada bait III tersebut mengungkapkan pengertian bahwa si “aku” lirik menyetujui apa yang dilakukan oleh sang “ibu” meskipun si “aku” lirik kurang mengerti apa yang dimaksudkan sang “Ibu”. Bait V yang terdiri atas 9 baris, juga menunjukkan adanya kode proaeretik sebagai berikut.1 bila kasihmu ibarat samudra2 sempit lautan teduh3 tempatku mandi, mencuci lumut pada diri4 tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh5 lokan-lokan, Mutiara dan kembang laut semua bagiku6 kalua ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan7 namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu 8 lantaran aku tahu9 engkau ibu dan aku anakmuPada baris ketiga dan keempat /tempatku mandi, mencuci lumut pada diri /tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/, menandakan ada kode aksian. Si “aku” lirik melakukan perbuatan atau tindakan berupa aktivitas mandi, mencuci kotoran yang menempel pada dirinya. Adapun pada sisi lain baris keempat, si “aku” lirik juga melakukan tindakan berlayar, kemudian dilanjutkan dengan tidakan berupa menebar pukat dan melempar sauh. Bait VI yang mempunyai empat baris, juga terdapat kode proaeretik. 1 ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala2 sesekali datang padaku3 menyuruhku menulis langit biru4 dengan sajakku Baris kedua dan ketiga menunjukkan kode aksian. Dalam baris kedua kode perbuatan diungkapkan melalui “ibu” sesekali mendatangi si ”aku” lirik. Adapun dalam baris ketiga juga memiliki kode proaeretik, yakni “ibu” menyuruh si “aku” lirik untuk menulis harapan-harapan tentang masa proaeretik atau aksian, perbuatan, Tindakan dalam puisi “Ibu” ternyata ditampilkan lebih dari sekali. Hal ini membuktikan bahwa kode proaeretik mempunyai fungsi penting dalam puisi “Ibu”. Kode proaeretik atau kode Tindakan merupakan perlengkapan utama teks yang dibaca orang Sunahrowi, 2019. Mengenai hal menghadirkan kode proaeretik dalam puisi “Ibu”, sang penyair menyusun secara runtut, yakni dimulai dari bait awal kemudian ke bait berikutnya. Begitu juga kemunculan kode aksian dalam bait, disusun secara urut sesuai dengan peristiwa tindakan, sehingga membentuk rentetan peristiwa atau lakuan atau tindakan dan saling berkaitan. Hal ini sesuai pernyataan Waluyo, 2010, dalam karya sastra perbuatan, gerak , atau alur pikiran penyair merupakan rentetan yang membentuk garis linier. Kode Kultural atau BudayaKode budaya dalam karya sastra bisa berkaitan dengan bahasa pemakain kata, frasa, klausa, kalimat, dan ungkapan, benda-benda, dan bentuk-bentuk atau pola tindakan manusia yang terdapat dalam teks puisi. Puisi “Ibu”, penyair secara eksplisit memunculkan kode budaya yang berkaiatan langsung dengan geografis dimana ia dilahirkan, dibesarkan, dan tinggal. Kode budaya diungkapkan dalam bait II sebagai berikut. 1 bila aku merantau2 sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku3 di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan4 lataran hutangku padamu tak kuasa kubayar Kanzunnudin, Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 198Frasa “sedap kopyor” dan “mayang siwalan” merupakan frasa yang mengindentifikasikan berkaitan dengan budaya pantai atau pesisir. Pohon kelapa dan siwalan banyak tumbuh dan berkembang di daerah pantai. Budaya dan masyarakat pantai atau pesisir memiliki karakteristik terbuka, lugas, dan egaliter budayanya sangat terbuka. Dalam budaya pesisir, masyarakatnya apabila berbicara langsung ke pokok persoalan dengan bahasa yang sederhana. Dalam berinteraksi dengan sesama menekankan pada subtansi apa bukan pada cara mengekspresikannya bagaimana. Kode budaya tersebut sangat erat kaitannya dengan bahasa atau diksi yang dipilih oleh penyair, yakni diksi lugas dan sederhana tidak dengan diksi yang berbunga-bunga. Hal ini sepadan dengan apa yang disampaikan oleh penyair kepada pembaca bukan bagaimana cara menyampaikannya. Sejalan dengan pendapat Thohir, 2006, masyarakat pesisir memiliki karakteristik terbuka, lugas, dan egaliter. Sikap terbuka berkaitan tata ruang fisik lingkungan alam pesisir yang terbuka dan tata ruang sosial interaksi dengan pihak luar, juga terbuka. Sikap lugas diperlihatkan oleh masyarakat pesisir jika berbicara langsung pada pokok persoalan dengan bahasa yang sederhana. Sikap egaliter ditunjukkan melalui prinsip bahwa antara manusia yang satu dengan manusia yang lain mempunyai kedudukan atau derajat sama. Kode budaya diungkapkan juga pada bait IV yang memiliki sembilan baris. 1 bila kasihmu ibarat samudra2 sempit lautan teduh3 tempatku mandi, mencuci lumut pada diri4 tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh5 lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku6 kalua ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan7 namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu 8 lantaran aku tahu9 engkau ibu dan aku anakmuBaris keempat /tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh/ dan baris kelima /lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku/, semakin mempertegas bahwa budaya yang diangkat dalam puisi “IBU”, yakni budaya pesisir. Dalam ranah kebudayaan bahwa salah satu unsur kebudayaan berupa sistem mata pencaharian hidup. Puisi “IBU” si “aku” lirik mata pencaharian hidupnya sebagai pencari ikan atau nelayan. Dikaitkan dengan konteks unsur kebudayaan, maka sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat, 1990, bahwa setiap kebudayaan yang ada di dunia memiliki tujuh unsur pokok, yakni 1 bahasa, 2 sistem pengetahuan, 3 organisasi sosial, 4 sistem peralatan hidup dan teknologi, 5 sistem mata pencaharian hidup, 6 sistem religi, dan 7 langsung antara kode budaya dalam puisi merupakan suatu ikatan yang tidak terpisahkan, yakni hubungan si “aku” lirik” penyair sebagai anggota masyarakat dengan budayanya. Hal ini sangat jelas dan eksplisit diungkapkan dalam puisi “IBU” melalui diksi, kata konkret, kode proaeretik, dan kode simbolik. Keterkaitan penyair seseorang sebagai dengan budayanyaPENUTUP Hasil analisis berdasarkan struktur, puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron memiliki struktur fisik berupa 1 diksi sederhana atau lugas dengan memanfaatkan bahasa sehari-hari yang menjadi komunikasi dalam puisi sangat efektif; 2 imajinasi atau citraan yang mencakupi imaji visual, kinestetik, penciuman, dan pencecapan; 3 kata konkret yang dimnfaatkan penyair untuk menimbulkan daya efektivitas dalam berkomunikasi dengan pembaca; 4 majas atau bahasa figuratif, 183 — 200 Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 199meliputi majas penegasan, perbandingan, dan majas pertentangan; 5 verifikasi, menggunakan rima awal dan rima akhir yang menimbulkan efek keindahan dan artistik; dan 6 tipografi dalam puisi “IBU” polanya sederhana yang berkorelasi dengan diksi yang sederhana dan luas sehingga menguatkan suasana dan makna puisi. Adapun struktur batinnya meliputi 1 perasaan, mengungkapkan kejelasan dan ketegasan penyairnya; 2 tema, mengetengahkan tema tentang ibu, yakni keberadaan seorang ibu, kedudukannya, kasih sayangnya, dan perannya yang tidak bisa tergantikan; 3 nada sebagai sikap penyair sangat lugas dan tidak menggurui, tidak menasihati, tidak mengejek, dan tidak menyindir, sedangkan suasananya mengantarkaan pembaca untuk berkontemplasi dan menghayati eksistensi dan kedudukan seorang ibu; dan 4 amanat, menandaskan bahwa eksistensi dan kedudukan seorang ibu sangat utama dan penting bagi kehidupan seorang anak. Hal ini menunjukkan bahwa secara struktuk fisik dan struktur batin, puisi “IBU” memiliki kekuatan komprehensif antara bentuk fisik dan batin. Mengenai analisis semiotik Roland Barthes, menunjukkan bahwa puisi “IBU” memiliki 1 kode hermeneutik, ditandai pertanyaan atau tanda tanya dalam teks puisi yang dijawab oleh baris-baris puisi berikutnya; 2 kode semik atau konotatif, sebagai petanda konotatif yang menunjukkan puisi “IBU” memiliki kekuatan makna taksa; 3 kode simbolik, yang merupakan kode sastra berkaitan dengan konotatif terdapat dalam puisi “IBU” sehingga melahirkan imaji makna sangat kuat; 4 kode proaeretik, sebagai kode lakukan atau tindakan, dalam puisi “IBU” ditampilkan secara runtut dari awal bait hingga baik berikutnya; dan 5 kode kultural atau budaya, diungkapkan secara eksplisit yang berhubungan langsung dengan budaya masyarakat pesisir yang bercirikan terbuka, lugas, dan egaliter. Hasil analisis ini membuktikan bahwa puisi “IBU” secara semiotik memenuhi teori semiotik Roland Barthes. Oleh sebab itu, puisi “IBU” berdasarkan semiotik Roland Barthes, memiliki kekuatan bentuk dan isi sebagai karya sastra yang memiliki fungsi estetik, padat dalam puisi tidak semua peristiwa diceritakan, dan ekspresi tidak langsung puisi sebagai sistem tanda atau penuh dengan tanda.DAfTAR PUSTAKAAltenbernd, L., & Lewis, L. L. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. The Macmillan 1995. Stilistika Pengantar memahami Bahasa dalam Karya Sastra. IKIP Semarang R. 2010. Image/Music/Text Essay Selected and Translated Stephen Health. Penerjemah Agustinus Hartono J. 1975. Stucturalist Poetics. Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. Routledge and Kegan Z. 2002. Telaah Sastra. Muhammadiyah University Dendy, F., Nofianty, & Kurnia. 2018. Analisis Struktur Batin Dan Struktur Fisik Pada Puisi “Ibu” Karya D. Zawawi Imron. Parole Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 15, 721– T. 1977. Sturcturalism & Semiotics. Methuen & Co. M. 2021a. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Universitas Muria M. 2021b. Nilai Sosial dalam Cerita Lisan “Mbah Suto Bodo” di Kabupaten Pati. Indonesian Language Education and Literature, 71, 152. 1983. An Introduction to ction. Little Brown and Analisis Semiotik Roland... Sawerigading, Vol. 28, No. 2, Desember 2022 200Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka A. A. 2021. Analisis Semiotik Puisi Engkau Karya Muhammad Zuhri. Widyaparwa, 492, 442–453. L. J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja 2016. Analisis Stilistika Serta Nilai-Nilai Religius 10 Puisi dalam Kumpulan Puisi Mata Badik Mata Puisi’ Karya D. Zawawi Imron. Widya Dharma 2018. Simbolis Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah Dari Kajian Semiotik. Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 31, 49– A. M. N., Shahri, A. R. H., & Seedighi, K. 2016. Semiotics in Haroun Hashem Rashid Lyrics Relying on the Theory of Pierce. International Journal of English Linguistics, 67, 31. R. D. 2000. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University R. D. 2001. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik. Hanindita Graha A. 1974. Princetown Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princetown University A. 2001. Semiotik Semiologi. Hanindita Graha M. 2013. Analisis Stilistika dan Nilai Pendidikan Kumpulan Puisi Mata Badik Mata Puisi Karya D. Zawawi Imron. Pascasarjana Universitas Sebelas R. M. 2015. Majas Dalam Kumpulan Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin’ Karya D. Zawawi Imron. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Sumatra N. K. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Peneleitian Sastra. Pustaka N. K. 2013. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Pustaka J. 1978. Understanding Poetry. Heyneman Educational M. 1978. Semiotics of Poetry I. U. Press ed..Sayuti, S. A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Gama O., & D. Zawawi, I. 2017. Segugus Percakapan Cinta di bawah Matahari “Antologi Dua Penyair Malaysia-Indonesia.” Yayasan Pustaka Obor 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Pustaka 2019. Semiotik Roland Barthes. Y. Y. 2018. Kajian Semiotika Godlob Danarto dalam Perspektif Teeuw. Sanata Dharma University A. 1983. Tergantung Pada Kata. Pustaka A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta Balai M. 2006. Orang-Orang Islam Pesisiran. Semarang Fasindo H. J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Widya Sari N. E. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Universitas Sebelas Maret — 200 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Mohammadi Nejad PashakiAhmad Reza Hidarian ShahriKolsom Seedighip>Today semiotics mainly influenced by Pierce’s thoughts and demarches has become an independent discipline which is used as an interdisciplinary aspect of text analysis. This approach, which uses linguistics, sociology, literature, and so forth is an efficient method of analysis. Semiotic analysis of the works in Arabic literature could lay the groundwork for a new reading of them, leading to better understanding of the texts. While introducing literary semiotics, this paper thus examines the poetry of Haroun Hashem Rashid based on the approach in question. It also appears that the encryption is related to the creator, aesthetics, text interrelationship, time, place, and the form of a poem. Given the work of Haroun Hashem Rashid, a number of roles are presented that rebuild a powerful relationship within a turbulent life, which is fluctuating between the pleasant and unpleasant symptoms. This associates likely and widespread meanings with the pure human being concepts. The results show that there is a high reliance on hypertext elements and the events of the author’s life in his poetry in addition to the text elements. However, of all the most frequent indices of his poetry, time, characters, and the indications of locations can be noted.

analisis puisi ibu karya zawawi imron